Bingung Memilih Karir: Kenali Konsep Self Awareness sebagai Kekuatan Psikologis Manusia

Desember 13, 2024 Add Comment

 

                                  

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan bahwa lulusan  Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Indonesia menghadapi tingkat pengangguran terbuka tertinggi dibanding lulusan jejnjang lainnya. Pengangguran lulusan SMA tercatat dengan angka mencapai 2.107.781 orang sementara lulusan SMK mencapai 1.621.672  orang pada tahun 2024. 

Fakta ini menunjukkan banyaknya lulusan SMA dan SMK yang masih belum memiliki arah yang jelas ataupun arah karir mereka kedepannya. Kurangnya pengetahuan seseorang terhadap diri sendiri dalam Psikologi dikenal dengan istilah Self Awareness (Kesadaran diri).  

Self Awareness sangat dibutuhkan sebagai usaha untuk mencapai kematangan karir dikemudian hari. Menurut Seorang Ahli yang bernama Goleman, kemampuan individu untuk dapat mengenali dan memahami perasaan, berpikir positif, pengambilan keputusan pribadi, mempertimbangan dampak dari pengambilan keputusan, serta kemampuan mengenali kelemahan dan kelebihan didefinisikan sebagai kesadaran diri (Farenti & Sekonda, 2022).

Siswa mengalami kesulitan dalam menentukan karir karena mereka belum memahami keinginan dan kemampuannya. Banyak siswa menghadapi kesulitan dalam memilih jurusan yang sesuai dengan minat dan kemampuan mereka, karena kurangnya informasi tentang dunia kerja. Mereka sering bingung memilih pekerjaan yang tepat dan khawatir tentang prospek pekerjaan setelah lulus. Selain itu, siswa juga belum memiliki gambaran jelas tentang perguruan tinggi yang harus dipilih atau keterampilan yang dibutuhkan untuk karier di masa depan. Hal ini menunjukkan pentingnya bimbingan karier yang dapat membantu siswa membuat keputusan yang tepat untuk masa depan mereka. (Nengsih, 2019).

Oleh karena itu disinilah peran Self Awareness bagi seseorang. Siswa dengan self- awareness yang tinggi cenderung lebih mantap dalam menentukan pilihan karir karena mereka tahu apa yang mereka inginkan dan apa yang dapat mereka lakukan. Keterampilan self awareness yang optimal dapat dilihat dari siswa yang memahami kapasitas berdasarkan kelebihan dan kekurangan yang ada dalam dirinya. Sebaliknya rendahnya tingkat self-awareness atau kesadaran diri sering menjadi penyebab utama kebingunan dan salah langkah.  Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Hafizha (2022) siswa yang memiliki kesadaran diri yang rendah akan sulit untuk dapat menilai diri dengan baik dan tidak memiliki sikap optimis akan potensi hubungan dengan orang lain maupun lingkungan. Haibo et al. (2018) mengatakan dampak lanjutan dari ketidaksadaran karir ini akan membawa individu pada ketidaktahuan atas tujuan apa yang ingin diraih dengan melakukan suatu tindakan. (Farenti & Sekonda, 2022).

Dengan mengenali minat dan potensi diri mereka siswa bisa lebih yakin memilik karir yang sesuai. Self-awareness tidak hanya memudahkan siswa dalam menentukan jalur karir tetapi juga membantu meningkatkan kepercayaan diri. Ketika siswa paham apa yang mereka sukai dan apa yang mereka kuasai, mereka akan lebih mantap dalam memilih karir dan menghadapi tantangan yang ada di depannya.

Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh guru, orang tua pendidik untuk meningkatkan self awareness. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Puteri & Rozana (2022) menunjukan bahwa pelatihan berbasis self awareness mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami diri mereka, sehingga mereka lebih siap membuat keputusan karir yang mantap dan sesuai dengan potenso diri. Contohnya pada pelatihan yang dilakukan di SMKN 1 Cihampelas, siswa diajak untuk mengenal diri melalui metode Awareness Wheel dan Johari Window

Metode ini membantu siswa menganalisis emosi, pikiran mereka tentang masa depan dan juga memberikan ruang umpan balik dari teman. Umpan balik ini memberikan sudut pandang baru bagi siswa untuk lebih memahami kekuatan dan kelemahan diri mereka. Hasil dari pelatihan ini menunjukan peningkatan dalam kemampuan siswa untuk mengenali diri dan menetapkan pilihan karir dengan lebih percaya diri.

Johari Window merupakan cara yang menyenangkan untuk mengenal diri sendiri dari dua sisi, yaitu apa yang kita tahu tentang diri sendiri dan apa yang orang lain tahu tentang kita. Modelnya dibagi jadi empat area yaitu yang terbuka, yang kita tidak sadar, yang kita sembunyikan, sama yang tidak diketahui siapa pun. Intinya, kita diajak buat lebih banyak terbuka dan mendengarkan masukan orang lain. Dengan begitu, kita bisa lebih paham siapa diri kita sebenarnya.

Awareness Wheel digunakan untuk meningkatkan kesadaran diri dan  mengurangi kebingungan. Awareness Wheel membantu siswa melihat pilihan karir dari berbagai aspek seperti perasaan, fakta, pikiran, keinginan, dan tindakan, sehingga membuat keputusan lebih jelas. Menggunakan Awareness Wheel dimulai dengan mengenali situasi yang sedang dihadapi. Setelah itu, pikirkan apa yang dirasakan, baik secara fisik maupun emosional, dan apa yang ada dalam pikiran tentang situasi tersebut. Selanjutnya, tentukan apa yang diinginkan dari situasi ini dan tindakan apa yang perlu diambil.

Self-awareness penting untuk memahami potensi diri dan membuat keputusan karir yang tepat. Dengan self-awareness yang baik kita bisa lebih percaya diri dalam memilih karir sesuai minat dan kemampuan. Memiliki self-awareness bukan hanya sekedar mengenali diri tetapi juga dasar mencapai kesuksesan di masa depan. 

Referensi Bacaan

 

Farenti, F., & Sekonda, F. A. (2022). Pengaruh kesadaran diri (self awareness) terhadap perencanaan karier pada siswa kelas XI di SMA negeri 3 kota jambi. Jurnal pendidikan tambusai, 6(3), 13640–13646. https://doi.org/10.31004/jptam.v6i3.4488

Hafizha, R. (2022). Profil self-awareness remaja. Journal of education and counseling (jeco), 2(1), 159–166. https://doi.org/10.32627/jeco.v2i1.416

Nengsih. (2019). Pengaruh self efficacy terhadap perencanaan arah karier siswa SMA dan implikasinya dalam pelayanan bimbingan konseling. Jurnal pendidikan dan konseling, 9(1), 55–68.

Puteri, S. A., & Rozana, A. (2022). Pelatihan berbasis self-awareness untuk meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan karir. Plakat : Jurnal pelayanan kepada masyarakat, 4(1), 121. https://doi.org/10.30872/plakat.v4i1.7834

Statistik, B. P. (2024, Juli 24). Pengangguran terbuka menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Retrieved from Badan Pusat Statistik Indonesia: https://www.bps.go.id/id/statistics-table/1/OTcyIzE=/pengangguran-terbuka-menurut-pendidikan-tertinggi-yang-ditamatkan-1986---2023.htmlTazkia, I. (2023, September 27). Mengenali diri sendiri menggunakan teori johari window . Retrieved from Kampus tazkia bogor: https://tazkia.ac.id/en/berita/populer/481-mengenali-diri-sendiri-menggunakan-teori-johari-window

 

Penulis Kontributor

Sasqia Indah Putri &Tanti Saputri
Psikologi, Universitas Gajayana Malang. 
bisa dihubungi melalui 
sasqiaputri21@gmail.com



Terapi Bermain "Sentuhan Hewan": Solusi Menyembuhkan Trauma Psikologis Anak

Desember 06, 2024 Add Comment



Trauma psikologis pada anak-anak dapat memiliki dampak yang luas, hal ini bisa memengaruhi kemampuan mereka untuk berfungsi secara sosial, emosional, dan bahkan fisik. Trauma seringkali disebabkan oleh pengalaman-pengalaman negatif yang ekstrem, seperti kekerasan fisik atau verbal, kehilangan orang tua, atau bencana alam. Menurut Teori Kelekatan (Attachment Theory) yang dikembangkan oleh John Bowlby, trauma yang tidak ditangani dengan tepat dapat merusak kemampuan anak untuk membentuk hubungan yang aman dan penuh kasih sayang dengan orang lain, sehingga bisa mengakibatkan pola kecemasan dan rasa tidak aman yang berkelanjutan. Anak-anak yang menderita trauma sering kali mengalami kecemasan, ketakutan, kesulitan mengatur emosi, dan masalah dalam membangun hubungan sosial yang sehat.

Penting untuk memahami urgensi masalah trauma pada anak-anak, karena dampaknya yang panjang terhadap perkembangan psikologis mereka. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Perry (2001), trauma dapat memengaruhi struktur dan fungsi otak anak, khususnya dalam hal regulasi emosi dan respons terhadap stres. Trauma yang tidak ditangani dengan tepat dapat memengaruhi kemampuan anak untuk mengelola kecemasan dan depresi, serta menghambat perkembangan keterampilan sosial dan kognitif. Oleh karena itu, penting untuk mencari pendekatan terapi yang holistik dan menyentuh aspek emosional anak-anak, salah satunya melalui terapi yang melibatkan hewan.

Salah satu metode yang bisa digunakan untuk membantu anak-anak mengatasi trauma adalah terapi bermain yang dibantu oleh hewan. Terapi ini memanfaatkan interaksi dengan berbagai jenis hewan, seperti hewan berbulu (kucing, kelinci, hamster), hewan peternakan (kuda, sapi, kambing), hewan laut (ikan, lumba-lumba), hingga hewan lainnya untuk membantu anak-anak merasa aman, meredakan ketakutan, dan meringankan beban emosional mereka. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip terapi berbasis pengalaman (experiential therapy) yang menekankan pentingnya pengalaman langsung untuk memulihkan trauma dan memperkuat keterikatan emosional.

Terapi bermain yang dibantu hewan adalah pendekatan yang semakin populer karena kemampuannya dalam menciptakan ikatan emosional yang kuat antara anak dan hewan, terutama hewan peliharaan. Melalui interaksi ini, anak-anak belajar untuk mengelola emosi mereka, meningkatkan rasa percaya diri, dan mengatasi ketakutan mereka dengan cara yang lebih alami dan tidak mengintimidasi.

Salah satu faktor penting yang membuat terapi ini efektif adalah kontak fisik dengan hewan, yang dapat memberikan rasa ketenangan dan juga keamanan. Sebagai contoh, anak-anak yang berinteraksi dengan kucing atau kelinci yang memiliki bulu yang lembut, mampu memberikan rasa kenyamanan dari sentuhan mereka, yang pada akhirnya dapat membantu mengurangi kecemasan dan memberikan rasa tenang dalam situasi yang penuh tekanan. Sentuhan fisik yang diterima dari hewan dapat memengaruhi sistem saraf secara langsung. Ketika anak-anak memegang hewan berbulu, tubuh mereka melepaskan hormon oksitosin, yang dikenal sebagai "hormon kebahagiaan". Oksitosin memiliki efek menenangkan, meredakan kecemasan, dan mengurangi kadar kortisol, yang merupakan hormon stres utama. 

Penelitian oleh Fine (2010) menunjukkan bahwa terapi yang melibatkan interaksi fisik dengan hewan dapat memperbaiki keseimbangan emosional anak, mengurangi gejala kecemasan, dan meningkatkan perasaan positif mereka. Selain itu, sentuhan dengan hewan peternakan seperti kuda juga memiliki efek menenangkan. Beberapa studi menunjukkan bahwa berinteraksi dengan kuda dapat meningkatkan kesejahteraan emosional anak-anak, karena kuda dapat merespons dengan cara yang sangat empatik terhadap perasaan manusia (Schott et al., 2015).

Selain pengaruh fisik, terapi bermain yang dibantu hewan juga membawa manfaat sosial dan emosional bagi anak-anak. Hewan peliharaan memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk merawat makhluk hidup, yang mengajarkan rasa tanggung jawab dan empati. Interaksi ini sering kali membangun rasa percaya diri, karena anak merasa bahwa mereka mampu memberikan perhatian dan perawatan yang diperlukan oleh hewan peliharaan mereka. Sebagai contoh, anak-anak yang terlibat dalam terapi bermain dengan hamster atau ikan dapat merasa lebih percaya diri ketika mereka bertanggung jawab untuk memberi makan atau merawat hewan tersebut. Pengalaman ini memberikan anak-anak rasa kontrol, yang seringkali hilang setelah trauma, serta meningkatkan kemampuan mereka untuk membangun hubungan yang lebih sehat dengan orang lain. Terapi bermain yang dibantu hewan juga dapat meningkatkan keterampilan sosial anak-anak, yang sering terhambat oleh kecemasan atau rasa takut yang mereka alami akibat trauma. 

Dengan berinteraksi dengan hewan, anak-anak diajarkan untuk mampu bersosialisasi dan membangun hubungan yang penuh kasih sayang, baik dengan hewan maupun dengan orang lain. Sebuah studi oleh Katcher dan Beck (2003) menemukan bahwa anak-anak yang berinteraksi dengan hewan peliharaan menunjukkan peningkatan dalam keterampilan sosial dan dapat lebih mudah mengembangkan hubungan yang lebih positif dengan teman-teman sebaya mereka. Hewan seperti lumba-lumba atau kuda juga memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk belajar mengenai komunikasi non-verbal, memperbaiki kemampuan mereka untuk membaca ekspresi dan gerakan tubuh yang dapat meningkatkan interaksi sosial mereka.

Namun, meskipun terapi bermain yang dibantu hewan menawarkan banyak manfaat, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, tidak semua anak akan merasa nyaman berinteraksi dengan hewan, terutama jika mereka memiliki ketakutan atau trauma sebelumnya terhadap hewan. Oleh karena itu, pendekatan yang penuh perhatian dan lembut sangat penting dalam memulai terapi ini. Penggunaan hewan yang tepat untuk setiap individu juga menjadi kunci keberhasilan terapi. Misalnya, beberapa anak mungkin lebih tertarik pada hewan laut seperti ikan, yang lebih tenang dan tidak mengancam, sementara yang lain mungkin merasa lebih nyaman dengan hewan peternakan yang besar seperti kuda atau sapi.

Secara keseluruhan, terapi bermain yang dibantu hewan adalah pendekatan yang efektif untuk membantu anak-anak yang mengalami trauma mengatasi ketakutan mereka dan memulihkan keseimbangan emosional mereka. Melalui interaksi dengan hewan. Baik itu hewan peliharaan berbulu, hewan peternakan, atau hewan laut, anak-anak dapat merasakan kenyamanan dan ketenangan yang sangat dibutuhkan untuk menyembuhkan luka batin mereka. Terapi ini memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk belajar mengelola emosi, membangun rasa percaya diri, dan memperbaiki keterampilan sosial mereka dalam lingkungan yang aman dan penuh kasih. Dengan penerapan yang tepat, terapi ini dapat menjadi alat yang kuat dalam proses pemulihan trauma pada anak-anak.

Referensi

Beck, A. M., & Katcher, A. H. (2003). New perspectives on human-animal bonds: Animals as co-therapists in health care settings. Social Science & Medicine, 61(9), 2057-2066.

Brown, S. L., & Katcher, A. H. (2007). The benefits of animal-assisted therapy in child development. Pediatrics, 120(5), 1188-1193.

Fine, A. H. (2010). Handbook on animal-assisted therapy: Theoretical foundations and guidelines for practice. Academic Press.

Garrity, T. F., & Stallones, L. (2007). Pet ownership and health-related outcomes in the elderly: A review of the literature. Journal of Applied Gerontology, 26(1), 3-20.

Hidayat, E., Bakar, A., Indarwati, R., Arief, Y. S., Toding, S., Ratri, T. H., & Syarifurrahman, I. (2024). Penggunaan terapi hewan pada anak dalam mengurangi rasa cemas pada anak yang menjalani hospitalisasi. Madani: Jurnal Ilmiah Multidisiplin, 2(8), 222–230. https://doi.org/10.5281/zenodo.13270822

Katcher, A. H., & Beck, A. M. (2005). Animal-assisted therapy in pediatric settings: Implications for child development and therapy. Pediatric Nursing, 31(1), 12-18.

Martin, F., & Farnum, J. (2002). Animal-assisted therapy for children with pervasive developmental disorders. West Journal of Nursing Research, 24(6), 657–670. https://doi.org/10.1177/019394502320555403

Moretti, F., & Villalobos, A. (2014). Animal-assisted interventions: Exploring their impact on children's emotional well-being. International Journal of Psychological Studies, 6(2), 22-34.

Nada, C., & Anita, A. (2023). Literatur review: Intervensi terapi untuk anak sebagai trauma healing. Community of Publishing in Nursing (COPING), 11(1), 1

Perry, B. D. (2001). The neurodevelopmental impact of childhood trauma. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 42(1), 73-88.

Schott, S., Lorentz, A., & Becker, L. (2015). The effect of animal-assisted therapy on child anxiety and depression. Journal of Affective Disorders, 184, 55-61.

Schultz, T. (2016). The therapeutic role of animals in child development. Journal of Child and Family Studies, 25(3), 10-23.

Walsh, F. (2016). Human-animal bonds and therapeutic benefits: A review of literature. Journal of Family Therapy, 38(2), 212-228.

ANAK LAKI-LAKI LEBIH AKTIF DARI PADA ANAK PEREMPUAN. MITOS ATAU FAKTA?

Juni 06, 2023 Add Comment

Dalam pengasuhan kadang orang tua menerima bias gender dari lingkungannya. Seperti anak perempuan lebih cepat berbicara sedangkan anak laki-laki lebih lamban. Sebaliknya untuk perkembangan fisik anak laki-laki justru lebih cepat dibandingkan anak perempuan. Dalam permainan pun kadang ditemukan pengelompokan khusus seperti anak laki-laki lebih suka lari-larian atau memanjat. Sedangkan anak perempuan lebih suka main boneka dan bermain masak-masakan.                         

Alasan secara biologis adalah disebabkan anak perempuan yang kurang aktif secara fisik karena alasan kematangan seksual yang terkait usia kronologis anak perempuan lebih awal matang dibadingkan anak laki-laki. Selain itu disebabkan oleh body fat anak perempuan ternyata lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki pada masa sebelum pubertas.

Penelitian yang menarik dari Telford, R, M dkk tahun 2016, yang melakukan studi longitudinal yang menguji apakah anak perempuan kurang aktif dibandingkan anak laki-laki pada usia 8 hingga 12 tahun. Ada beberapa pebandingan aspek pengukuran dalam penelitian ini yang menjadi highlight beserta hasilnya. Berikut ini penjelesan :

✅ Cardio respiratory fitness, yang diukur dengan waktu berlari hasilnya anak laki-laki lebih banyak berlari dibandingkan anak perempuan.

✅ Physical activity (steps/day), anak laki-laki lebih banyak berjalan.

  Eye hand coordination, yang diukur jumlah menangkap bola, hasilnya juga anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan anak perempuan.

✅ Perceived competence in PA (physical activity), anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan anak perempuan. Anak perempuan lebih rendah keterlibatannya dalam kegiatan olahraga ekstrakurikuler.

 

Pengukuran aspek-aspek diatas ternyata tidak begitu berbeda dengan kata lain bertahan hingga anak berusia 12 tahun. Uniknya pada usia 12 tahun dukungan orangtua dalam kegiatan aktivitas fisik lebih tinggi anak laki-laki dibandingkan perempuan. Hal ini dikarenakan keterlibatan anak laki-laki dalam kegiatan jasmani lebih tinggi dibandingkan anak perempuan.

Tingginya aktivitas fisik anak laki-laki berkaitan dengan persepsi akan kemampuannya untuk terlibat yang juga tinggi dibandingkan anak perempuan. Sehingga membuat dukungan orang tua pada saat anak berusia 12 tahun pun juga lebih tinggi anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.

Penelitian ini memperlihatkan rendahnya aktifitas fisik anak perempuan dibandingkan anak laki-laki disebabkan oleh rendahnya minat anak perempuan (persepsi kemampuan melakukan kegiatan aktivitas fisik) terlibat dalam kegiatan olahraga baik di komunitas atau disekolah yang berefek rendahnya dukungan keluarga dan sekolah, sehingga ini membuat anak perempuan kurang aktif dibandingkan anak laki-laki.

Sekolah sebagai tempat anak mendapat pendidikan jasmani perlu mempertimbangkan apakah anak laki-laki dan anak perempuan dicampur bersama, mengingat  karena kegiatan yang berfokus pada kinerja fisik cenderung mendukung anak laki-laki dibandingkan anak perempuan bahkan sebelum masa pubertas berlangsung.

Dari penelitian ini kita belajar bahwa jangan-jangan bukan anak perempuan yang kurang aktif tetapi anak perempuan yang kurang mendapatkan kesempatan dan dukungan yang setara dalam aktivitas fisik. Oleh karenanya pada beberapa kondisi kita perlu memodifikasi lingkungan dengan tidak menggabungkan antara anak laki-laki dan perempuan dalam aktivitas fisik untuk meningkatkan keterlibatan dan motivasi anak perempuan dalam kegiatan fisik/olahraga jasmani. 

Jika ingin menggabungkan kegiatan fisik antara laki-laki dan perempuan perlu dilakukan penyeleksian minat dan tingkat kemampuan sehingga tidak ada lagi persepsi bagi anak perempuan bahwa mereka tidak mampu melakukan kegiatan fisik.

 

 Sumber:

Telford RM, Telford RD, Olive LS, Cochrane T, Davey R. (2016). Why are girls less physically active than boys?. findings from the look longitudinal study. PLoS ONE 11(3): e0150041. doi:10.1371/journal.pone.0150041


Orang Tua yang Tidak Cerdas Emosi Telah Menghancurkan Kebahagiaan Anak

Mei 22, 2023 Add Comment


Anak usia dini yang berusia 0-6 tahun berada pada periode perkembangan usia emas. Pada usia tersebut otak dan aspek perkembangan akan tumbuh dan berkembang dengan cepat dalam sejarah kehidupan anak. Pola asuh orang tua memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk kepribadian anak. Cara orang tua mengasuh anak-anaknya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti pola asuh orang tua terdahulu terdahulu, adat istiadat, budaya, agama, pendidikan dan pengetahuan orang tua itu sendiri.

Kenyataan yang masih kita temukan di masyarakat adalah masih ditemukan orang tua yang belum cerdas secara emosi. Belum dapat mengendalikan rasa marah, rendahnya kontrol diri dan kurangnya kesadaran akan perkembangan emosi anak. Orang tua masih melakukan hukuman fisik, kekerasan verbal yang menyakiti perasaan anak dan pengabaian kebutuhan anak.

Ada 2 macam bentuk kekerasan. Kekerasan verbal seperti mengancam, menakut-nakuti, menghina dll. Kekerasan fisik seperti mencubit, memukul area tubuh tertentu baik dengan tangan atau alat-alat tertentu masih sering kita temua di masyarakat. Padahal efek dari kekerasan tersebut bukan hanya merusak otak anak namun juga masalah perilaku dan emosi bagi anak dikemudian hari.

Perilaku tersebut diatas mencerminkan bahwa orang tua masih belum memiliki kecerdasan emosi. Orang tua yang cerdas emosi (emotional equation) adalah seseorang yang memiliki kecakapan emosi meliputi:

-          Mampu mengenali emosi diri

-          Mampu mengelola Emosi

-          Mampu memotivasi diri sendiri

-          Mengenali perasaan orang lain

-          Mampu menjalin hubungan yang positif

Tidak ada orang tua yang sempurna dimuka bumi ini. Dibutuhkan orang tua yang sadar akan kesehatan mental anak. Orang tua harus mengupayakan kebahagian psikologis anak dan minim trauma masa kecil. Salah satu cara melatih agar orang tua cerdas secara emosi adalah dengan memberikan program pelatihan pengasuhan positif.

Pola asuh positif adalah hubungan yang berkesinambungan antara orang tua dan anak seperti mengasuh, mengajar, memimpin, mengkomunikasikan, dan menyediakan kebutuhan anak secara konsisten dan tanpa syarat. Pengasuhan positif adalah orang tua yang paham tentang tumbuh kembang anak, mampu melakukan komunikasi yang efektif dengan anak, menerapkan disiplin yang positif dan mampu mengontrol rasa marah.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati & Roshita (2019) memperlihatkan bahwa orang tua yang sudah mendapatkan program pelatihan positif parenting lebih cerdas secara emosi dibandingkan orang tua yang tidak mendapatkan pelatihan. Dalam eksperimennya orang tua diberikan kesempatan untuk melihat, mendengar, mengeskpresikan dan mendiskusikan pengalaman selama mengasuh anak. Orang tua diberikan kesempatan satu persatu untuk mempraktekkan pengasuhan positif didepan kelas. Diakhir pelatihan orang tua diminta untuk menyimpulkan materi pelatihan pengasuhan positif. Untuk memonitor efektifitas pelatihan orang tua diminta untuk membuat jurnal penerapan positif parenting.

Setelah mengikuti pelatihan orang tua merasa lebih bisa mengontrol emosi ketika marah, empatinya meningkat, paham kapan harus tegas dan tidak kepada anak, hubungan anak-orang tua menjadi lebih sehat, dan ayah pun ikut terlibat dalam mengasuh anak. Pelatihan positif parenting ini memberikan kesempatan kepada orang tua menyadari akan pola asuhnya, sehingga mereka lebih sadar, menerima dan memperbaiki diri.

Jika kita bandingkan di zaman dahulu, ilmu parenting sangat terbatas. Namun di era digital ini dengan tsunami informasi yang ada dimedia sosial, maka tentunya sudah menjadi kewajiban orang tua untuk belajar dan meng-upgrade diri tentang ilmu pengasuhan. Prinsip mengasuh anak harus sesuai zamannya. Tanyakan juga perspektif anak tentang pengsuhan yang sudah dilakukan. Jika orang tua tetap bertahan dengan pengasuhan yang sudah jelas berdampak buruk bagi perkembangan anak. Hasilkan akan orang tua petik sendiri ketika mereka besar nanti, apakah anak-anak hangat kepada orang tua atau justru sebaliknya.

Jika orang tua memiliki keterbatan waktu, biaya dan kesempatan untuk mendapatkan program pengasuhan secara offline. Sudah banyak ilmu parenting di media sosial. Salah satunya ayah bunda bisa belajar di Youtube Yuni Kartika Channel yang merupakan sarjana dan magister Psikologi Sains.

 

Sumber:

Nurhayati, S., Rosita, T. (2019). Positive parenting training program implementation to increase parent’s emotional intelligence in raising well being children. Proceedings of the 1st in ternational Conference on Early Childhood Care Education and Parenting (ICECCEP 2019), 65-69

 



Apakah Orang Kreatif adalah Orang yang Cerdas?

Mei 05, 2023 Add Comment

The Global Creativity Index (GCI)  yang dilakukan Martin Prosperity Institute pada tahun 2015 menunjukkan bahwa dari 139 negara yang diteliti Indonesia berada diperingkat ke- 115. Padahal kreativitas merupakan psychological trait yang amat penting untuk terciptanya karya kreatif, karakter positif individu, sebagai modal daya saing manusia dan sebagai keterampilan hidup sehari-hari. Salah satu faktor penting yang berperan dalam kreativitas adalah Kecerdasan (Intelligence), yang merupakan salah satu kemampuan individu yang menjadi pondasi penting untuk pengembangan kemampuan berpikir kreatif.
 
Otak adalah karunia dari Tuhan YME yang patut kita syukuri. Semua perilaku kita hampir semuanya di atur oleh otak. Otak mengirimkan sinyal keseluruh tubuh yang membuat kita bisa berkedip, berjalan, tidur dll. Kecerdasan adalah salah satu bentuk dari hebatnya kemampuan berpikir dari otak manusia. 

Kecerdasan memang bukan sebagai penentu seseorang sukses dimasa depan, namu orang yang sukses membutuhkan kecerdasan yang cukup untuk memproses informasi yang datang ke otaknya. Di dalam kecerdasan setidaknya terdapat 3 fungsi mental yaitu kecepatan pemprosesan informasi, penyelesaian masalah dan penalaran abstrak. Sedihnya, fakta menunjukkan bahwa Indonesia hanya menduduki peringkat peringkat 130 dari 199 negara dalam tingkat kecerdasan berdasarkan World Population Review tahun 2022.
 
Survey tingkat kreativitas dan intelegensi Indonesia sama-sama berada pada posisi rendah. Kenapa bisa demikian karena ternyata integensi memberikan peran terhadap kreativitas manusia. Seberapa penting kecerdasan supaya bisa jadi orang kreatif?
 
Sebuah studi yang dilakukan oleh Akhtar & Kartika (2019) menunjukkan bahwa Inteligensi memberikan sumbangan sekitar 10,5% terhadap kreativitas manusia. Artinya orang kreatif adalah betul orang yang cerdas. Namun tidak semua orang kreatif adalah orang jenius.  Maksudnya bagaimana?
 
Ada sebuat teori yang dikenal dengan teori ambang batas (Threshold Theory). Threshold theory berpendapat bahwa kemampuan intelektual merupakan syarat yang diperlukan untuk menjadi kreatif. 
Kecerdasan di atas rata-rata dianggap sebagai kondisi yang diperlukan tetapi tidak cukup untuk menghasilkan kreativitas yang tinggi. Lebih khusus lagi, diasumsikan bahwa ada ambang kecerdasan yang biasanya ditetapkan pada IQ 120. 

Teori ambang memprediksi bahwa ada korelasi antara kreativitas dan inteligensi pada kelompok sampel IQ rendah sampai rata-rata, sedangkan tidak ada korelasi antara kreativitas dan inteligensi pada kelompok sampel IQ tinggi. Orang dengan kecerdasan di bawah kecerdasan rata-rata memiliki sedikit peluang untuk menjadi sangat kreatif; mereka yang memiliki kecerdasan di atas ambang batas mungkin memiliki potensi kreativitas yang tinggi tetapi tidak terkait dengan tingkat IQ mereka.

Temuan penelitian Akhtar & Kartika (2019) ini mendukung teori ambang batas (threshold theory) yang menyimpulkan bahwa untuk menjadi orang yang kreatif tidak dibutuhkan IQ yang mencapai level sangat genius. Namun untuk menjadi orang kreatif dibutuhkan tingkat inteligensi yang berada pada ambang batas sebagai modal untuk melakukan sesuatu. Terlebih lagi, Akhtar dan Kartika menemukan ambang batas IQ yang diperlukan adalah 106, bukan 120 seperti hipotesis awal teori ini. Ketika seseorang sudah mencapai pada level IQ tertentu, peningkatkan inteligensi tidak begitu berperan dalam meningkatkan kemampuan berpikir kreatif.
 
Ternyata orang-orang dengan skor kreativitas tinggi tidak semuamya memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Namun, untuk menjadi orang kreatif kita butuh kecerdasan yang mencapai ambang batas. Setiap manusia mempunyai batas maksimal kecerdasannya. Batas maksimal skor inteligensi seseorang didapatkan dari gabungan fluid intelligence  dan crystallized intelligence. Fluid intelligence merupakan kecerdasan bawaan sedangkan crystallized intelligence adalah kecerdasan yang didapatkan dari proses belajar dan keterampilan yang diperoleh seumur hidup. Oleh karena itu bagi orang tua perlu mengoptimalkan perkembangan kognitif anak sejak dini dengan berbagai stimulasi dimasa golden age sebagai modal untuk sukses menghadapi tantangan dimasa depan.
 
Akhtar, H., & Kartika, Y. (2019.). Intelligence and creativity: an investigation of threshold theory and its implications. Journal of Educational Science and Psychology, 9(1), 131-138.

Bangkit dari Pengalaman Traumatis Pasca Perceraian dan Kehilangan Orang tua

April 18, 2023 Add Comment

  

Memiliki orang tua yang utuh dan harmonis adalah impian semua anak. Kenyataannya tidak semua anak memperoleh keberuntungan tersebut. Perceraian orang tua saja sudah memberikan pengalaman traumatis bagi anak. Apalagi kehilangan orang tua untuk selama-lamanya tentunya memberikan tambahan luka batin bagi anak. 

Anak dengan korban perceraian dan kematian kedua orang tua akan mengalami kesepian, kurangnya kasih sayang, rendahnya harga diri, sulit percaya dengan orang lain dan masalah ekonomi. Apalagi pasca kejadian traumatis tersebut anak dititipkan pada keluarga dengan menerapkan pola asuh Authoritaran (Otoriter) yang kerap melakukan kekerasan baik fisik maupun Psikologis. Maka sangatlah besar kemungkinan terjadinya penyimpangan perilaku karena anak kehilangan figure penting dalam hidupnya.

Bukan berarti dengan pengalaman traumatis tersebut anak kehilangan harapan untuk membangun masa depannya. Lalu berlarut menikmati kesedihan yang sulit untuk dihilangkan. Dibutuhkan suatu kemampuan untuk dapat menyesuaikan diri setelah kejadian trauma yang menimpanya. Pengalaman traumatis dapat memicu munculnya masalah psikologi seperti depresi dikemudian hari.

Sebuah Artikel Penelitian yang dilakukan oleh Yuni Kartika tahun 2017 yang diterbitkan oleh International E-Journal of Advances in Social Sciences, bahwa Resiliensi menjadi modal Psikologis bagi seseorang yang telah mengalami kejadian traumatis. Ketahanan hidup (resilience) menjadi konsep positif yang meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengatasi kejadian-kejadian negatif yang dialami dalam hidupnya. Resiliensi merupakan kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau kejadian trauma.

Resiliensi adalah konsep psikologis yang sangat kompleks dan tidak mudah untuk membangunnya dalam diri. Setidaknya ada 7 skill yang menyertainya, yaitu
1. Kemampuan meregulasi emosi,
2. Pengendalian impuls
3. Optimis
4. Kemampuan menganalisis penyebab masalah
5. Empati
6. Self efficy, yaitu percaya pada kemampuan diri sendiri untuk memecahkan masalah secara efektif
7. Reaching Out, merupakan kemampuan seseorang untuk membentuk suatu hubungan dengan orang lain dalam rangka membantu dalam meyelesaikan masalah.

Resiliensi bisa dibangun dan dilatih. Dibutuhkan rasa penerimaan, keyakinan dan lingkungan yang positif yang mendukung untuk bangkit dari kejadian traumatis tersebut.

Kegiatan positif yang bisa membantu seseorang  bangkit dan menerima kejadian traumatis dalam hidup adalah terlibat dalam kegiatan sosial. Seperti relawan mengajar, pengabdian masyarakat, relawan kebencanaan, mengikuti acara keagamaan dll. Kegiatan ini membantu seseorang berinteraksi dengan banyak orang dan mengamati kejadian hidup diluar dari dirinya sebagai refleksikan hidup.

Dengan megikuti kegiatan sosial juga dapat menghilangkan rasa kesepian dan membangun relasi dengan orang-orang yang memiliki kesamaan minat. Kemampuan menemukan seseorang yang tepat dalam menyelesaikan masalah (reaching out) juga dapat dijembatani dengan kegiatan-kegiatan sosial ini. Dengan mengikuti banyak kegiatan sosial yang positif mampu memberikan energi positi agar fokus dalam menciptakan prestasi.
 
Sumber

Kartika, Y. (2017). Resilience: phenomenological study on the child of parental divorce and the death of parents.  IJASOS- International E-Journal of Advances in Social Sciences 3( 9),1035-1042.

Laki-laki Menilai Dirinya Lebih Cerdas Dibandingkan Perempuan

April 13, 2023 Add Comment


Laporan diri mengenai inteligensi menjadi bahasan yang cukup penting karena menggambarkan kesadaran diri dan berperan dalam kesuksesan individu. Berbeda dengan inteligensi psikometrik yang diukur dengan tes objektif, laporan diri mengenai inteligensi lebih bersifat subjektif yang merupakan persepsi individu terhadap kemampuan kognitif yang dimilikinya. Sudah lebih dari 40 tahun topik ini masih dibahas oleh para peneliti. Secara umum, laki-laki menilai dirinya memiliki inteligensi umum yang lebih tinggi dibanding perempuan. Namun apakah temuan itu masih relevan?

Inteligensi saat ini lebih dilihat secara multidimensi. Dia tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki beberapa jenis. Selain itu, kondisi masyarakat saat ini juga sudah sangat berbeda dibanding 40 tahun yang lalu, dimana sekarang perempuan jauh lebih mudah untuk memperoleh akses pendidikan. Oleh karenanya, Akhtar dan Silfiasari (2022) melakukan sebuah studi pada 869 mahasiswa di Indonesia untuk melihat apakah ada perbedaan dalam laporan diri mengenai inteligensi antara laki-laki dan perempuan. Penilaian tidak hanya dilakukan pada inteligensi umum saja, namun juga pada kemampuan yang lebih spesifik, seperti penalaran fluida (fluid reasoning), ingatan kerja (short-term working memory), ingatan jangka Panjang (long-term memory), pemahaman pengetahuan (comprehension knowledge), kecepatan pemprosesan (processing speed), dan pemrosesan visual (visual processing).

Hasil penelitian ini menujukkan bahwa secara umum, laki-laki menilai dirinya memiliki inteligensi yang lebih tinggi dibanding perempuan. Namun perbedaan ini tidak berlaku bagi semua kemampuan yang lebih spesifik. Laki-laki menilai dirinya memiliki kemampuan penalaran dan pemrosesan visual yang lebih baik dibanding perempuan. Namun dalam hal ingatan kerja, ingatan jangka Panjang, kecepatan pemrosesan, dan pemahaman pengetahuan, tidak ditemukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Temuan ini menegaskan temuan-temuan sebelumnya, dan berlaku universal baik di negara Barat maupun Timur.

Temuan ini menegaskan asumsi di masyarakat bahwa inteligensi erat kaitannya dengan maskulinitas. Laki-laki menilai dirinya lebih baik dalam hal penalaran dan pemrosesan visual karena dua kemampuan ini erat kaitannya dengan inteligensi umum. Hal ini dapat menjelaskan mengapa pekerjaan tertentu yang mengandalkan penalaran dan kemampuan spasial (misalnya sopir, pilot, insinyur) didominasi oleh laki-laki di Indonesia. Meskipun akses ke pendidikan sekarang sudah relatif setara untuk laki-laki dan perempuan, namun dalam hal penilaian subjektif mengenai kecerdasan, laki-laki masih dinilai lebih cerdas dibanding perempuan.

Referensi
Akhtar, H., & Silfiasari. (2022). A brief measure of self-reported cognitive abilities: Are males and females different?. Testing, Psychometrics, Methodology in Applied Psychology. 29(4), 475-493. https://doi.org/10.4473/TPM29.4.6